“Dilema BID’AH HASANAH dan BID’AH DHOLALAH”.
Apa itu BID’AH ?
Menurut definisi para ulama :
“Bid’ah adalah apa-apa yang diada-adakan tetapi tidak memiliki dasar dalam syariat”.
Adapun sesuatu yang memiliki dasar dalam syariat maka ia bukan bid’ah dalam istilah syariat meski secara kaidah bahasa disebut bid’ah (mengada-adakan hal baru).
Bid’ah atau perkara-perkara baru yang dilakukan atas nama agama, tetapi tidak berdasarkan syariat, penambahan atau pengurangan dalam materi agama yang tidak pernah diwahyukan atau disunnah kan (diajarkan) oleh Rasulullah saw sebagai wakil Allah SWT di muka bumi ini.
Jadi, seandainya hal-hal baru yang dilakukan bukan berasal dari syariat agama, bukan termasuk bid’ah. Seperti misalnya, penemuan penemuan baru dalam tataran teknologi ataupun isu-isu dalam bidang sosial masyarakat baik isu-isu umum ataupun isu-isu yang berkaitan dengan agama.
Apakah ada pembagian bid’ah : “Bid’ah Hasanah” dan “Bid’ah Dholalah” ?
“Semua bid’ah itu adalah dholalah (kesesatan) walaupun ia dianggap orang hasanah”. (Ibnu Umar).
Bid’ah tidak dapat dibagi-bagi dan diklasifikasi menjadi : “bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (buruk)”, sebab bid’ah adalah lawan dari petunjuk Allah dan sunnah Rasul-Nya. Bid’ah tidak mengenal pembagian seperti itu.
“Mari kita simak definisi bid’ah menurut hadis Nabi saw” :
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah saw mengatakan akan terjadinya perselisihan yang banyak dan dahsyat dalam agama baik dalam ranah politis suksesi kepemimpinan maupun pada ranah pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama.
Dan akibat perselisihan tersebut akan muncul bid’ah-bid’ah yang menyesatkan dalam agama.
Nabi saw memperingatkan akan bahaya tersebut dengan bersabda :
“Dan hati-hatilah kamu dari perkara-perkara yang baru karena ia adalah kesesatan”.
Dalam riwayat Abu Daud :
“Dan hati-hatilah kalian dari hal-hal baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah itu sesat”.
(Sunan Abu Daud dengan komentar Izzat Ubaid ad-Da’as dan Adil as-Sayyid, 5/3 hadis no. 4607 bab Fi Luzumi as-Sunnah).
Tentu yang dimaksud dengan bid’ah-bid’ah dan perkara-perkara baru adalah hal-hal baru yang dilakukan atas nama agama, penambahan atau pengurangan dalam materi agama yang tidak pernah diwahyukan atau disunnah kan (diajarkan) oleh Rasulullah saw sebagai wakil Allah SWT di muka bumi ini.
Menurut pensyarah Sunan Abu Daud, Abu Thayyib al-Azhim Abadi dan pensyarah Sunan At-Turmudzi, Al-Mubarakfuri, menjelaskan makna hadis tersebut sebagai berikut :
“Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata,
“Peringatan bahwa setiap hal baru adalah bid’ah’, menjelaskan yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa-apa yang diada-adakan tetapi tidak memiliki dasar dalam syariat.
Adapun sesuatu yang memiliki dasar dalam syariat maka ia bukan bid’ah dalam istilah syariat meski secara bahasa disebut bid’ah.
Demikian Al-Azhim Abadi dan Al-Mubarakfuri menukil dari Al-Khaththabi. (‘Aun al-Ma’bud, Al-Azhim Abadi, 12/360, Tuhfah al-Ahwadzi, 7/439-440).
Jadi, pada dasarnya semua bid’ah itu adalah kesesatan. Bid’ah tidak dapat dibagi-bagi dan diklasifikasi menjadi : “bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (buruk)”, sebab bid’ah adalah lawan dari petunjuk Allah dan sunnah Rasul-Nya. Bid’ah tidak mengenal pembagian seperti itu.
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami ini (agama Islam), apa-apa yang tidak termasuk darinya maka ia tertolak”.
(Sunan Abu Daud dengan syarah ‘Aun al-Ma’bud, 12/358 hadis no 4582).
Ibnu Umar berkata, “Semua bid’ah itu adalah dholalah (kesesatan) walaupun ia dianggap orang hasanah”.
(Hadis riwayat Ad-Darimi dengan sanad hasan menurut Al-Qaisi, dan oleh Masyhur Hasan Sulaiman digolongkan shahih).
Imam Malik berkata, “Barangsiapa mengada-ada (bid’ah) dalam Islam yang ia pandang hasanah (baik), maka ia benar-benar telah menganggap Muhammad telah menghianati “Risalah”, karena Allah telah berfirman :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku telah ridhai Islam sebagai agama bagimu”. (QS 5 Al-Maidah ayat 3).
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk dari bagian agama, maka ia hari ini juga bukan dari agama”. (Al-Qaisi, Ma’alim at-Tauhid, 72).
Kelompok yang berbeda faham dan penafsiran tentang “bid’ah” :
1. “Kelompok yang membagi bid’ah dalam 2 kategori : Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dholalah”.
Bertentangan dengan riwayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan di atas, sekelompok orang dari Ahlusunnah wal Jama’ah (Sunni), menyatakan bahwa bid’ah dibagi menjadi dua kategori yaitu : “bid’ah hasanah” dan “bid’ah dholalah”. Benarkah pendapat demikian ?
Ketika sudah ada ketetapan hukum pasti tentang semua bid’ah adalah “kesesatan” yang menjerumuskan pelakunya ke neraka, maka seyogya nya siapapun ulama panutan umat muslim apapun kelompoknya, harus sangat berhati-hati dalam menentukan hukum bid’ah kepada umat.
Dia harus benar-benar memahami definisi bid’ah yang benar sesuai ajaran Rasulullah saw, karena bid’ah adalah lawan dari petunjuk Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Konsekwensinya sangat berat jika keliru menyampaikan suatu hukum agama yang sesungguhnya adalah bid’ah, tetapi dia menyampaikan kepada jama’ahnya sebagai “bid’ah hasanah”.
Dia telah menganjurkan perbuatan bid’ah yang akan diikuti dan dikerja- kan oleh demikian banyak pengikut nya.
Bid’ah yang dilakukan secara berjama’ah dan beruntun, turun temurun sampai akhir zaman, maka dosa yang ditanggungnya akan menimbunnya selama bid’ah itu terus dilakukan.
Meskipun si penganjur bid’ah telah bertobat sebelum meninggal, tetapi bid’ahnya terlanjur telah rnenyebar sepanjang masa, dosanya tetap bergulir sepanjang masa itu.
Bagaimana pula jika si penganjur bid’ah tersebut tidak pernah punya niat bertobat sebelum meninggal nya.
Kita lihat sebagian perbuatan-perbuatan bid’ah yang dilakukan masyarakat akibat pengajaran dari para tokoh ulama mereka (atas kebijakan penguasa terdahulu), antara lain :
- Sholat sunnah malam Ramadhan
dilaksanakan secara berjama’ah
(yang disebut sholat taraweh, yang
yang tidak dikerjakan di masa
Nabi saw ataupun Abu Bakar dan
masa separuh awal kekhalifahan
Umar bin Khattab). Mari kita simak pernyataan dari
Khalifah Umar bin Khattab, ketika
Ia melihat umat Islam melaksana
kan perintahnya untuk melakukan
sholat sunnah malam Ramadhan
secara berjama’ah, “Inilah bid’ah
terbaik yang telah aku lakukan”.
Sementara ia sendiri tidak ikut
melakukannya. - Pelarangan hukum “nikah mut’ah”
yang dihalalkan oleh Nabi saw,
dan diharamkan oleh Khalifah
Umar (penghapusan hukum
agama). - Perubahan cara wudhu ajaran
Nabi saw sesuai al-Qur’an, dengan
cara wudhu baru oleh Usman yang
dilakukan pada masa ia menjabat
sebagai khalifah dan menyebar
keseluruh penjuru negeri yang
diikuti oleh mayoritas muslim
sampai sekarang. - Munculnya berbagai Mazhab
dalam Islam yang seyogyanya
adalah bid’ah, karena memecah
belah umat Islam yang satu.
2. “Kelompok yang memahami agama secara sempit, menghukumi semua perbuatan atau amalan yang tidak dicontohkan Nabi saw atau tidak ada dalilnya, sebagai bid’ah”.
Wahabi dan sekelompok lainnya, berkeyakinan bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada yang namanya bid’ah hasanah, pemahanan yang benar sesuai rujukan hadis-hadis Nabi saw di atas.
Namun kelompok ini tidak secara jelas menerangkan makna dari bid’ah itu sendiri. Menurut mereka, bid’ah adalah hal-hal baru yang diadakan tanpa ada contoh dari Rasulullah saw. Segala sesuatu yang dikerjakan tanpa adanya dalil atau contoh yang diperintahkan oleh Rasulullah saw adalah bid’ah.
Akibatnya, mereka terjebak dalam kesempitan keyakinan yang mem”bid’ah”kan semua perbuatan yang bukan berdasarkan syariat agama, yang tidak ada perintah atau contoh dari Rasulullah saw.
Kelompok inilah sekarang yang paling getol berteriak-teriak bid’ah, syirik, kafir atau pun sesat kepada kelompok lain yang tidak sejalan, yang melaksanakan acara maulud Nabi saw, tahlilan, yasinan, tawasul, tabaruk atau ziarah kubur, karena menurut mereka tidak ada dalilnya ataupun tidak dicontohkan oleh Nabi saw.
Tidak ada contoh ataupun perintah dari Nabi saw bukan berarti bid’ah karena kegiatan-kegiatan tersebut di atas bukan bagian dari syariat agama. Atau sesungguhnya ada dalil dari syariat agama, namun mereka tidak mempunyai referensi dalilnya.
Sebaliknya, melarang sesuatu perbuatan amal shaleh yang tidak ada pelarangan oleh Nabi saw, justru mereka adalah para pembuat bid’ah itu sendiri.
Berteriak-teriak bid’ah kepada orang lain ternyata mereka adalah ahli bid’ah itu sendiri.
3. “Syiah Ahlulbait Nabi saw mengikuti ajaran Rasulullah saw dan Ahlulbait as tentang bid’ah sebagaimana disebutkan dari hadis-hadis di atas, dan bagaimana seharusnya bersikap terhadap ahli bid’ah sebagaimana dijelaskan di bawah ini “.
“Memerangi Bid’ah dan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pelaku bid’ah menurut Al-Qur’an dan Hadis”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَا نُوْا شِيَـعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍ ۗ اِنَّمَاۤ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَـبِّـئُـهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَفْعَلُوْنَ
“innallaziina farroquu diinahum wa kaanuu syiya’al lasta min-hum fii syaii, innamaaa amruhum ilallohi summa yunabbi
uhum bimaa kaanuu yaf’aluun”
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
(QS. Al-An’am 6: Ayat 159).
Membuat perpecahan dalam agama bermakna membuat bid’ah dan menafsirkan agama sesuai dengan pandangan sendiri.
Al-Qur’an dan hadis mengecam keras orang-orang yang melakukan itu.
Perhatikan peringatan keras bagi pembuat bid’ah di bawah ini :
- QS (2) Surat Al-Baqarah ayat 79 : Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman :
فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتٰبَ بِاَ يْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هٰذَا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ لِيَشْتَرُوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا کَتَبَتْ اَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُوْنَ
“fa wailul lillaziina yaktubuunal-
kitaaba bi`aidiihim summa
yaquuluuna haazaa min ‘ingdillaahi liyasytaruu bihii samanang qoliilaa, fa wailul lahum mimmaa katabat aidiihim wa wailul lahum mimmaa yaksibuun”
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri) kemudian berkata, Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka karena tulisan tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 79).
- Imam Ali as berkata :
“Setiap kali bid’ah datang, maka sunnah pergi”. (Al-Bihar jil 2 hal 264).
“Salah satu kewajiban para Nabi dan ulama adalah melenyapkan bid’ah dan menghindari penyimpangan”. (Al-Hayat jil 2 hal 344).
- Dalam hadis disebutkan, “Tobat pembuat bid’ah tidak diterima”. (Al-Bihar jil 72 hal 216).
- Allah tidak akan menerima amal pembuat bid’ah. (Kanz al-‘Ummal hadis 1.115).
- Orang yang memberi hormat kepada seorang pembuat bid’ah atau tersenyum kepadanya karena suka, maka ia sedang melangkah menuju kehancuran agamanya.
- Rasulullah saw bersabda :
“Ketika terjadi perselisihan di tengah umat ku, maka siapa saja yang beramal sesuai dengan sunnah dan perkataanku dan tidak mengikuti jalan orang lain, maka ia akan memperoleh pahala orang yang mati syahid”. (Al-Bihar jil 2 hal 262).
(Madrasah Ahlulbait).