MAKAM SAYYIDINA SALMAN AL-FARISI.

MAKAM SALMAN AL-FARISI.

7 JUTA MALAIKAT MENSHALATI JENAZAHNYA.

SALMAN AL-FARISI SEMPAT MENJADI GUBERNUR MADAIN.

TATKALA DIA HAMPIR MENINGGAL DUNIA SESEORANG BERNAMA RAZAN BERADA DI SAMPINGNYA DAN BERTANYA KEPADANYA:
”WAHAI SALMAN SIAPAKAH ORANG YANG ENGKAU WASIATI UNTUK MENGURUS DAN MENGAFANI JENAZAHMU?”

SALMAN AL-FARISI MENJAWAB:
”ORANG YANG MENGUBURKAN RASULULLAH”

RAZAN BERTANYA:
”WAHAI SALMAN SEKARANG ENGKAU BERADA DI MADAIN DAN ALI BERADA DI MADINAH BAGAIMANA MUNGKIN DIA AKAN MELAKUKANNYA?”

SALMAN AL-FARISI BERKATA:
”TATKALA RUHKU BERPISAH DARI TUBUHKU DAN SEBELUM ENGKAU MEMINDAHKANKU MAKA SAAT ITU ALI AKAN DATANG BERILAH SALAM KEPADANYA DAN KERJAKANLAH APA YANG ALI PERINTAHKAN”

RAZAN BERKATA SETELAH SALMAN MENGHEMBUSKAN NAFASNYA YANG TERAKHIR:
”SAYA MENUTUPINYA DENGAN SEHELAI KAIN”
”TIBA-TIBA SAYA MELIHAT AMIRUL MUKMININ DATANG”
”SAYA MEMBERI SALAM LALU DIA MEMBUKA KAIN YANG MENUTUPI WAJAH SALMAN DAN SALMAN TERSENYUM”
”AMIRUL MUKMININ BERKATA KEPADA SALMAN:
”SELAMAT ATASMU WAHAI HAMBA ALLAH JIKA ENGKAU BERTEMU DENGAN RASULULLAH MAKA SAMPAIKAN KEPADANYA TENTANG SIKAP PARA SAHABATNYA TERHADAP DIRIKU”
”LALU AMIRUL MUKMININ MEMBUKA SELURUH KAIN YANG MENUTUPI TUBUH SALMAN LALU SEGERA MELAKUKAN APA YANG WAJIB DAN MUSTAHAB BAGINYA ( YAKNI MEMANDIKAN DAN MENGKAFANINYA ) KEMUDIAN MENGUBURKANNYA DAN IMAM ALI BIN ABU THALIB MELAKSANAKAN SHALAT ZUHUR DI MADINAH”

IBNU SYAHR ASYUB DALAM KITAB MANAQIB BERKATA:
”TATKALA IMAM ALI BIN ABU THALIB MELAKSANAKAN SHALAT ATAS JENAZAH SALMAN SAYA MELIHAT ADA 2 ORANG LAKI-LAKI LAIN YANG MUNCUL LALU IMAM ALI BIN ABU THALIB MENGUCAPKAN TAKBIR SHALAT DENGAN SUARA YANG KERAS DI MANA SUARANYA TERDENGAR HINGGA 2 KILOMETER”
”TATKALA SAYA MENANYAKAN SIAPA KE-2 LELAKI TERSEBUT IMAM ALI BIN ABU THALIB MENJAWAB BAHWA SALAH SEORANG DI ANTARANYA ADALAH NABI KHIDIR DAN SEORANG LAINNYA ADALAH JA’FAR AT-THAYYAR DAN ADA 7 BARIS MALAIKAT DI MANA SETIAP BARIS TERDIRI DARI 1 JUTA MALAIKAT DAN SEMUANYA TURUT MENSHALATI JENAZAH SALMAN DAN JUGA DI SEBUTKAN BAHWA PADA WAKTU SHUBUH AMIRUL MUKMININ MASIH BERADA DI MADINAH DAN PERGI KE MESJID RASULULLAH LALU BERKATA:
”MALAM INI AKU BERMIMPI BERTEMU DENGAN RASULULLAH DAN BERPESAN KEPADA AKU AGAR MEMANDIKAN DAN MENGKAFANI
SALMAN DAN SEKARANG AKU AKAN BERANGKAT KE MADAIN UNTUK MELAKSANAKAN PESAN RASULULLAH”
”ORANG-ORANG DI SITU MENEMANI IMAM ALI BIN ABU THALIB SAMPAI KELUAR DARI MADINAH KEMUDIAN IMAM ALI BIN ABU THALIB MENGUCAPKAN KATA-KATA PERPISAHAN DAN BERANGKAT MENUJU MADAIN”
”TATKALA MEREKA DATANG KE MESJID UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT ZUHUR MEREKA MENYAKSIKAN IMAM ALI BIN ABU THALIB BERADA DI MESJID LALU MEREKA MENGHAMPIRI DAN MENANYAKAN PERISTIWA YANG TELAH TERJADI”
”LALU IMAM ALI BIN ABU THALIB MENJAWAB:
”AKU TELAH PERGI KE MADAIN MENSHALATI JENAZAH SALMAN DAN MENGUBURKANNYA”
”SEBAGIAN MEREKA YANG HADIR TIDAK MEMPERCAYAI UCAPANNYA DAN MENGANGGAP ITU HAL YANG MUSTAHIL”
”SAMPAI AKHIRNYA SELANG BEBERAPA WAKTU DATANGLAH SEBUAH SURAT DARI MADAIN YANG MENYEBUTKAN BAHWA PADA HARI YANG DI SEBUTKAN SALMAN TELAH MENINGGAL DUNIA LALU ADA SEORANG ARAB YANG DATANG DAN MEMANDIKAN MENSHALATI DAN MENGUBURKANNYA LALU DIA HILANG DARI PANDANGAN KAMI”
”TATKALA MEREKA MEMPERHATIKAN TANGGAL YANG TERCANTUM DALAM SURAT TERSEBUT TERNYATA HARI ITU ADALAH HARI DI MANA IMAM ALI BIN ABU THALIB KELUAR DARI MADINAH MENUJU MADAIN”
”PERISTIWA YANG MENAKJUBKAN INI MEMBUAT PARA SAHABATNYA SEMAKIN DEKAT DAN CINTA KEPADANYA DAN MEMBANGKITKAN RASA IRI DAN DENGKI DI ANTARA ORANG-ORANG MUNAFIK”

Kupas tentang rukun Islam dan iman antara sunni dan Syiah

Ada sekelompok orang yang menuduh Syiah bukan Islam karena beda rukun Islam dan Rukun Iman dengan Sunni. Mari kita kupas :

“Mengupas Perbedaan Rukun Iman dan Rukun Islam Sunni dan Syiah”

Dalam ajaran AHLUSSUNNAH (Asy’ariyah) :

  • Rukun Iman ada 6 (enam) :
    1). Iman kepada Allah
    2). Iman kepada malaikat-malaikat
    Nya
    3). Iman kepada Kitab-kitab Nya
    4). Iman kepada Rasul Nya
    5). Iman kepada Yaumil Akhir / hari
    kiamat
    6). Iman kepada Qadar dan Qadar,
    baik-buruk dari Allah.
  • Rukun Islam ada 5 (lima) :
    1). Syahadat
    2). Sholat
    3). Puasa
    4). Zakat
    5). Haji

Dalam ajaran SYIAH Imamiyah :

  • Rukun Iman ada 5 (lima) :
    1). At-Tauhid (keesaan Allah)
    2). An Nubuwwah (kenabian)
    3). Al Imamah (meyakini Imamah
    setelah kenabian berakhir)
    4). Al ‘Adl (keadilan Ilahi)
    5). Al Ma’ad (hari akhir)
    Rukun Iman disebut Ushuluddin (Pokok-pokok Agama).
  • Rukun Islam juga ada 5 (lima) :
    1). Sholat
    2). Puasa
    3). Zakat
    4). Haji
    5). Wilayah ( Mengikuti & menta’ati
    Imam Ahlulbait as).

Lalu setelah mereka melihat dalam rukun Iman Syiah tidak tercantum “Iman kepada Qadha dan Qadar, para malaikat dan kitab-kitab Allah”, Sunni langsung menyimpulkan bahwa Syi’ah tidak beriman kepada: Qadha’ dan Qadar, para malaikat dan kitab-kitab Allah!

Tunggu dulu . . .
Kalau mau membaca penjelasan tentang rukun Iman Syiah tersebut, mereka akan tahu bahwa iman kepada Allah disebutkan dalam konsep “Tauhid”, iman kepada malaikat, kitab-kitab dan para rasul tercakup dalam konsep Nubuwwah, iman kepada hari akhir tercakup dalam konsep al-Ma’ad (hari akhir), sedangkan iman kepada Qadha dan Qadar tercakup dalam Al-‘Adl ( keadilan Ilahi).


Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus, sementara sesungguhnya banyak dasar dalam ajaran Islam yang menunjukkan bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam bisa didefinisikan dan ditetapkan memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.

Sebagian orang, terutama yang tidak akrab dengan literatur Islam, menganggap “Rukun-rukun Iman” dan “Rukun-rukun Islam” dalam teologi Asy’ariyah yang dianut oleh Ahlussunnah di Indonesia sebagai paket yang disepakati baik isi maupun penafsirannya. Sehingga dijadikan sebagai parameter kesesatan dan kesahihan keyakinan setiap Muslim.

Pendiri mazhab Asy’ariah adalah Abul Hasan al-Asy’ari ( wafat tahun 330 H/941-942 M) murid Qadhi Abdul Jabbar yang penganut Mu’tazilah. Abul Hasan Asy’ari awalnya penganut aliran Mu’tazilah yang kemudian bergabung dengan Mazhab Hambali, dan kemudian mendirikan mazhab Asy’ariyah.

Jadi perumusan rukun Iman dan rukun Islam versi Asy’ariah ini baru muncul sekitar 300 tahun setelah Nabi saw wafat.

Apakah umat Islam sebelum munculnya mazhab Asy’ariyah, semua sesat karena tidak merumuskan “Rukun Iman & Islam” seperti Asy’ariyah ?

“Pembahasan” Rukun Iman Asy’ariyah.

Pertama :

Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam himpunan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Aliran teologi Maturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “Sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda dengan Asya’riyah.

Ahlul Hadis dan teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul Hadis, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.

Kedua :

Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazanah hadis dan sunnah.

Dalam literatur hadis Ahlusunah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.

Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlusunah.

Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahîh mereka, bab Al-Imân Mâ Huwa wa Bayâni Khishâlihi :

Riwayat Imam Bukhari dan Muslim :
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi Saw muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib”.

Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya 5 (lima) :
(1) Beriman kepada Allah; (2) Kepada para malaikat; (3) Kepada kitab-Nya; (4) Perjumpaan dengan-Nya; (5) Kepada para rasul.

Tidak ada sebutan apa pun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar.

Riwayat lain dari hadis sahih Imam Muslim dalam kitab Shahîhnya, bab Al-Amru bi Al-Imân bi-Llah wa Rasûlihi, berbunyi sebagai berikut :

Rasulullah bersabda,
“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, “Tidak”.

Beliau bersabda : “Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan)”.(1).

Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut :

  • Bersaksi tiada tuhan selain Allah.
  • Bersaksi Muhammad adalah
    utusan Allah.
  • Menegakkan salat
  • Membayar zakat
  • Berpuasa di bulan Ramadan
  • Membayar khumus.

Itulah versi lain rukun Iman menurut hadis Imam Muslim, bercampur dengan bagian rukun Islam yg dibakukan oleh ulama Sunni sendiri.

Versi lain menurut Ahlussunnah, rukun Iman diambil dari Surat Al-Baqarah (2) ayat : 285,

Allah SWT berfirman:

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰٓئِكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ ۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

“aamanar-rosuulu bimaaa unzila ilaihi mir robbihii wal-muminuun, kullun aamana billaahi wa malaaaikatihii wa kutubihii wa rusulih, laa nufarriqu baina ahadim mir rusulih, wa qooluu sami’naa wa atho’naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal-mashiir”

“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya. Dan mereka berkata, Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 285).

Dari ayat tersebut rukun Iman dirumuskan sebagai berikut :

  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada Malaikat
  3. Iman kepada kitab-kitabNya
  4. Iman kepada rasul-rasulNya

Dari versi lain ini rukun Iman hanya 4 (empat). Jika ada orang yang tidak menambahkan kata : “iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar” yang tidak tercantum dalam ayat tersebut, jangan sebut dia mengingkari dua rukun iman karena dia juga punya dalil dari ayat al-Qur’an yang lain.

Misalnya untuk hari akhirat lihat Surat Al-Baqarah (2) ayat 4,

Allah SWT berfirman:

وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ

“wallaziina yu`minuuna bimaaa unzila ilaika wa maaa unzila ming qoblik, wa bil-aakhiroti hum yuuqinuun”

“dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 4).

Untuk qadha dan qadar lihat Surat At-Taubah (9) ayat 51 :

Allah SWT berfirman:

قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَـنَاۤ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَـنَا ۚ هُوَ مَوْلٰٮنَا ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ

“qul lay yushiibanaaa illaa maa kataballohu lanaa, huwa maulaanaa wa ‘alallohi falyatawakkalil-mu`minuun”

“Katakanlah (Muhammad), Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”
(QS. At-Taubah 9: Ayat 51).

Jika ada kaum Mu’tazilah tidak menerima rukun Iman yang ke 6 “iman kepada qadha dan qadar”, jangan sebut mereka sesat karena mereka berpegang pada Surat As-Syura (42) ayat 30 :

Allah SWT berfirman:

وَمَاۤ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ

“wa maaa ashoobakum mim mushiibatin fa bimaa kasabat aidiikum wa ya’fuu ‘ang kasiir”

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 30).

Jika rukun Iman Mu’tazilah berbeda dengan yang dirumuskan oleh Asy’ariyah, apakah kalian sebut mereka kafir ?

Inilah rukun Iman menurut Mu’tazilah (al-Ushul al-Khamsah) :

  1. Al-Tauhid
  2. Al-‘Adl
  3. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
  4. Al-Wa’d wa al-Wa’id
  5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nah
    ‘an al-Munkar

Maka menurut rukun Iman Mu’tazilah, Ahlussunnah/Asy’ariyah mengingkari semua rukun Iman Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, Ahlussunnah adalah aliran sesat. Sedangkan menurut Ahlussunnah, Mu’tazilah mengingkari rukun Iman mereka dan mereka sesat.

Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak niscaya bisa disimpulkan bahwa unsur-unsur tersebut tidak diyakini oleh kelompok lain.

Ketiga:

Kata “rukun Iman” dan “rukun Islam” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa perlu didiskusikan oleh siapa pun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat kelompok lain.

Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam.

Menilai apalagi menyesatkan keyakinan orang yang tidak sama keyakinan berdasarkan keyakinan kita sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim.

Keempat:

Enam rukun iman aliran Asy’ariyah ini didasarkan pada Alquran. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara “percaya kepada” dan “percaya bahwa”. Semua item dalam rukun iman itu lebih difokuskan pada “kepercayaan kepada”, bukan “kepercayaan bahwa”.

Padahal “kepercayaan kepada” Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepercayaan bahwa” Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.

Kelima:

Sumber pembentukan rukun iman dalam aliran Asy’ariyah terkesan berasal dari teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai basis untuk merumuskan dasar kepercayaan yang semestinya merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi apabila Alquran dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, rukun “kepercayaan kepada Alquran” harus mendahului “kepercayaan kepada Allah”. Bukankah Alquran diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (Nabi)?

Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai Alquran. Alquran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya.

Alquran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, Alquran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad Saw.

Keenam:

Dalam teologi Asy’ariyah rukun Iman mendahului rukun Islam. Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi Saw diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka.

Allah berfirman, Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurât [49]: 14)
Jadi menurut ayat di atas, rukun Islam harusnya mendahului rukun Iman.

Ketujuh:

Rukun pertama dalam Rukun-rukun Iman adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini?

Apakah meyakini keberadaan-Nya saja ataukah keesaan-Nya? Sekadar “kata kepada Allah” masih menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan. Apakah iman ini berhubungan dengan “iman kepada” ataukah “iman tentang ketuhanan”?

Persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), “Dan sesungguhnya apabila kau (Muhammad) tanyakan mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka menjawab, Allah”. (QS. Al-’Ankabût [29]: 61) Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?

Kedelapan :

Rukun kedua adalah “iman kepada malaikat”. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi “iman tentang malaikat”. “Iman kepada” mestinya muncul setelah “iman tentang”. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah).

Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemen nya sebelum mempercayai Alquran yang mewartakannya?

Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung argumen ini ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam Alquran. Memang benar.

Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam Alquran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam Alquran juga mesti dijadikan rukun pula ? Seperti contohnya : iman kepada Iblis, iman kepada Fir’aun, iman kepada Namruz, iman kepada Samiri (sahabat Musa) si pembuat anak sapi emas dan lain sebagainya.

Bukankah semua yang ada dalam Alquran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalau pun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?

Kesembilan:

Rukun ketiga dalam rukun-rukun Iman adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci. Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci?

Apakah Alquran juga termasuk di dalamnya? Bila Alquran juga termasuk di dalamnya, maka timbul pertanyaan yang layak dijawab, logiskah mengimani Alquran dari teksnya itu sendiri? Logiskah meyakini Alquran sebagai wahyu karena Alquran menetapkannya demikian di dalamnya?

Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari Alquran, sedangkan meyakini Alquran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad Saw.

Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun?

Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam daftar rukun iman karena tertera dalam Alquran, maka mestinya banyak hal lain dalam Alquran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.

Kesepuluh:

Rukun keempat dalam Rukun Iman adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad Saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mestinya tidak didasarkan pada Alquran, karena keyakinan akan kebenaran Alquran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad Saw sebagai nabi.

Keimanan kepada kebenaran Alquran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam Alquran, padahal keyakinan akan Alquran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad Saw sebagai nabi.

Kesebelas:

Rukun kelima adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca-dunia).

Keduabelas:

Rukun keenam dalam Rukun Iman Ahlussunnah adalah iman tentang Qadha dsn Qadar, ketentuan Allah, nasib baik dan buruk semua berasal dari Allah.. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.

Dari poin ini artinya Sunni percaya bahwa keburukan juga berasal dari Allah. Keyakinan demikian sangat berakibat fatal bagi kemusliman seseorang. Kenapa ? Artinya si punya keyakinan ini telah mengingkari firman Allah dalam al-Qur’an :

Allah SWT berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْـئًا وَّلٰـكِنَّ النَّاسَ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

“innalloha laa yazhlimun-naasa syai`aw wa laakinnan-naasa anfusahum yazhlimuun”

“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.”
(QS. Yunus 10: Ayat 44).

Dan,

Allah SWT berfirman:

وَمَاۤ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ

“wa maaa ashoobakum mim mushiibatin fa bimaa kasabat aidiikum wa ya’fuu ‘ang kasiir”

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 30).

Dari ayat di atas dinyatakan bahwa Allah tidak pernah berbuat buruk dan dzolim kepada manusia tetapi si manusia itu sendiri yang mendzolimi dirinya sendiri”.

Artinya apa ? Bahwa siapa yang mengingkari ayat-ayat Allah berarti dia telah menolak Allah, menentang Allah.

Ketigabelas:

Bila dua syahadat tidak termasuk dalam rukun iman, maka konsekuensinya, manusia yang mengimani enam rukun di atas, meski belum atau tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap
mukmin. Bila rukun Islam tidak menyertakan iman sebagai syarat kemusliman, maka konsekuensi nya, seseorang bisa dianggap muslim meski tidak meyakini rukun iman kecuali bila rukun Iman ditetapkan sebagai syarat bagi rukun Islam.

(Dirangkum oleh Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Catatan Kaki

Shahîh Muslim, bab Al-Amr bi Al-Imân bi-Llah wa Rasûlihi


Tentang “Rukun Islam” Ahlussunnah :

Rukun Islam Sunni dirumuskan dari hadis Umar bin Khattab :

Rasulullah saw bersabda : “Islam itu ditegakkan di atas lima perkara :
Bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan haji dan puasa di bulan ramadhan”.

Menurut riwayat hadis tersebut di atas rukun Islam :

  • Syahadat
  • Shalat
  • Zakat
  • Haji
  • Puasa di bulan Ramadhan

Sementara itu, riwayat dari sahabat lain juga ada. Bahkan pada awalnya Nabi saw menyebutkan poin rukun Islam sebagai bagian dari keimanan.

Riwayat lain dari hadis sahih Imam Muslim dalam kitab Shahîhnya, bab Al-Amru bi Al-Imân bi-Llah wa Rasûlihi, berbunyi sebagai berikut :

“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, “Tidak”.

Beliau bersabda : “Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan)”.
(Diriwayatkan juga : Dalam Shahih Bukhori, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’i, Musnad Ahmad).

Menurut riwayat diatas, rukun Islam itu 5 (lima) :

  • Syahadat
  • Shalat
  • Zakat
  • Puasa di bulan Ramadhan
  • Khumus

Apakah periwayat hadis seperti Bukhori dan lainnya yang tidak menyebutkan “haji” dan menambah satu lagi rukun yaitu “khumus” dianggap sesat ?

Masih dalam Shohih Bukhori :
“Dari Abu Ayub al-Anshori, seorang lelaki berkata kepada Nabi saw :
“Beritahukan daku tentang amal yang membawaku ke surga”. Beliau saw bersabda : “Kau sembah Allah tanpa menyekutukan Dia dengan apapun, kau dirikan shalat, kau keluarkan zakat, dan kau sambungkan silaturahmi”.

Rukun Islam :

  • Mengesakan Allah
  • Shalat
  • Zakat
  • Silaturahmi

Berdasarkan hadis ini, apakah orang yang menyebutkan “silaturahmi” termasuk rukun Islam lantas disebut sesat ? Apakah Bukhori termasuk kelompok sesat menurut Sunni ?

Ada ulama Ahlussunnah yang menambahkan rukun Islam ke 6 (enam) : “Amal Ma’ruf Nahi Munkar” yaitu Al-Syaikh Yahya bin Abd al-Rahman, Imam Masjid al-Imam Ahmad, Riyadh.

Guru Besar Ilmu Fikih di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Prof. Sa’d bin Turki al-Khatslan berfatwa tentang rukun Islam ke 6 (enam) : “Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah syiar agung agama Islam”. Dengan syiar ini umat Islam mencapai kemuliaannya”.

Rukun Islam 6 (enam) :

1). Syahadat
2). Sholat
3). Puasa
4). Zakat
5). Haji
6). Amal Ma’ruf Nahi Munkar

Ulama Sunni yang lainnya, ‘Abd al-Aziz bin Abdillah bin Baz memasukkan “Jihad fi Sabilillah” sebagai rukun Islam ke 6 (enam).

Rukun Islam 6 (enam) :

1). Syahadat
2). Sholat
3). Puasa
4). Zakat
5). Haji
6). Jihad fi Sabilillah.


Pembahasan dalam ajaran Syiah tentang :

“Qada ( keputusan) dan Qadar (ketetapan) Allah Swt”.
( Masuk dalam “Pokok-pokok Agama ke 4 : “Keadilan Ilahi” ) :

Kepercayaan (Iman) kepada Qada dan Qadar adalah sangat penting dalam Islam dan tercantum dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw, yang dikuatkan dengan argumen-argumen intektual.

Berkaitan dengan ketentuan atau ketetapan (Qadar), ayat al-Qur’an menyebutkan :

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadarnya”. (QS 54 Al-Qamar ayat 49).

“Dan tiada sesuatu pun kecuali pada sisi Kami ada khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan kadar tertentu”.
(QS 15 Al-Hijr ayat 21).

Berkenaan dengan keputusan Tuhan (Qada), Allah berfirman :

“Apabila Dia memutuskan suatu perkara maka sesungguhnya Dia hanya berkata kepadanya “jadi” maka jadilah ia”. (QS. 2 Al- Baqarah ayat 117).

“Dia yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia memutuskan ajal kamu”. (QS. 6 Al-An’am ayat 2).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut ditambah sejumlah besar hadis, maka tak seorang muslim pun yang mengingkari realitas takdir Tuhan.

Namun sejauh ini sudah banyak orang yang karena minimnya ilmu dan kemampuan untuk memahami realitas ini akhirnya cenderung mengikuti doktrin-doktrin keliru, ragu dan sesat jalan.

Kata Qadar dalam bahasa Arab bermakna “ukuran” dan “porsi”, dan kata Qadha berkenaan dengan apa yang pasti dan ditentukan.

Imam Ali ar-Ridho as (Imam Ahlulbait ke 8) mengatakan sebagai kesimpulan dari ulasan kedua istilah ini :

“Qadar harus dipahami sebagai menakdirkan sesuatu yang berkaitan dengan subsistensi (baka) dan kepunahan (fana).

Adapun Qadha adalah penganugerahan atas entisas tertentu dari kapasitas definitifnya untuk mengaktualisasi diri”.

Ulasan tentang Qadar :

Setiap makhluk merupakan wujud mungkin (mumkin al-wujud) yang memiliki batas dan tingkat eksistensi tertentu. Segala sesuatu selain Allah itu eksis dengan cara tertentu, dibatasi dengan derajat yang berbeda, melakukan modus bereksistensi yang berbeda : Mineral memiliki kadar atau potongan eksistensi tertentu, berbeda dari kadar tetumbuhan atau hewan.

Sebagaimana eksistensi yang dibagi adil kepada segala sesuatu merupakan makhluk Allah itu sendiri, demikian pula penakaran (takdir) awal segala sesuatu berasal datang dari-Nya.

Karenanya, penakaran eksistensi ini dapat dipahami sebagai perbuatan Allah, “dimaknai sebagai determinasi aktif dan pembagian adil dalam perbuatan”. Ini, pada gilirannya harus dipahami dari sudut pandang berikut : “Sebelum mencipta sesuatu, Allah sudah mengetahuinya dalam kondisi sangat tersembunyi atau yang disebut “potensialitas”, ini dimaknai sebagai determinasi dan pembagian adik dalam pengetahuan”.

Kepercayaan kepada qadar serupa dengan kepercayaan pada “ke-pencipta-an” Allah berkenaan dengan properti-properti tertentu dari segala sesuatu, dan “determinasi aktif”-Nya tentang hal-hal yang bersandar pada pengetahuan pra-abadi-Nya : konsekwensinya, kepercayaan kepada pengetahuan Tuhan tentang qadar hanya sebuah fungsi kepercayaan pada pengetahuan soal keabadian Allah.

Ulasan tentang Qadha :

Qadha harus dipahami sebagai penganugerahan eksistensi definitif terhadap suatu entitas. Proses yang dengannya eksistensi definitif ini tercapai, terletak pada berlangsungnya hukum “sebab akibat (hukum kausalitas)”.

Sesuatu menerima eksistensi sebagai akibat aktualisasi sempurna dari sebuah eksistensi. Sejauh hukum kausalitas ini berasal dari Allah, realitas definitif dari setiap entitas yang eksis terletak pada kekuasaan dan kehendak Allah.

Terdapat Qadha “aktif” yang berlangsung pada level penciptaan, dan Qadha “esensial” yang berkenaan dengan pengetahuan abadi Allah tentang segala sesuatu, sebagaimana segala sesuatu itu belum terwujud.

Berkaitan dengan Qadha dan Qadar ini memunculkan istilah Qadha dan Qadar kreatif, apakah secara esensial atau secara aktif. Namun kedua prinsip ini juga berlaku di ranah dispensasi agama. Karena prinsip kewajiban agama juga ditentukan Qadha Tuhan, dan properti-properti tertentu dari kewajiban-kewajiban ini, berkenaan dengan apa yang perlu, atau dilarang dan seterusnya juga berasal dari “pradeterminasi agama” (takdir tasyri’i). (Pra-determinasi : jabr, keterpaksaan)

Dalam menjawab kesangsian seputar realitas Qadha dan Qadar, Imam Ali as berkata, “Makna Qadha dan Qadar berkenaan dengan memerintahkan keta’atan dan melarang ke-tidak ta’at-an, pemberian kekuasaan atas manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat, pemberian rahmat untuk menambah kedekatan dengan Allah, mengembalikan para pelaku dosa pada kondisi (fitrah) mereka sendiri, membuat janji-janji dan ancaman-ancaman, semua itu berkaitan dengan Qadha dan Qadar Allah berkenaan dengan perbuatan-perbuatan kita”.

Nilai perbuatan manusia itu didasarkan pada “kehendak bebas”nya sedangkan keyakinan kepada “keterpaksaan (jabr) mutlak” perbuatan manusia akan membatalkan nilai perbuatan manusia itu sendiri.

Kesimpulannya, Qadha dan Qadar berlaku pada penciptaan dan dispensasi agama (takdir tasyri’i). Masing-masing kedua eilayah ini terdiri dari dua cara :
Cara “esensial” berkaitan dengan pengetahuan Tuhan, dan cara “aktif” berkaitan dengan manifestasi.

TAKDIR ALLAH tidak bertentangan sedikitpun dengan kehendak bebas manusia. Karena apa yang telah ditakdirkan oleh Allah bagi manusia, tepatnya kehendak bebas merupakan ciri pembeda antara manusia dengan hewan.

Manusia telah ditakdirkan sebagai pelaku bebas, mampu memilih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan-nya.

Keputusan Tuhan berkenaan dengan perbuatan manusia adalah, segera sesudah kehendak dan keinginan melakukan perbuatan tertentu diwujudkan, perbuatan pasti akan menyusul.

Dengan kata lain, penciptaan manusia secara inheren sudah termasuk kebebasan yang berkenaan dengan kehendak manusia, bersama kapasitasnya untuk mengevaluasi dan menilai. Dalam hal ini, keputusan Tuhan adalah, kapanpun manusia memutuskan melakukan perbuatan, dan memiliki sarana yang diperlukan untuk melaksanakannya, maka kekuasaan Tuhanlah yang mengakibatkan terlaksananya perbuatan itu menjadi terhubung.

Sebagian kalangan (kaum pengikut keyakinan “Jabariyah”) percaya bahwa dosa mereka merupakan produk takdir Tuhan dan sesungguhnya mustahil bagi mereka untuk memilih jalan selain dari yang telah ditakdirkan Tuhan itu.

Namun nalar akal sehat dan wahyu sama-sama menolak keyakinan seperti itu. Dari sudut pandang intelektual, manusia menentukan nasibnya melalui serangkaian keputusannya sendiri. Adapun dari sudut pandang agama, manusia dianggap punya kapasitas untuk menjadi sosok yang saleh ataupun jahat.

Ini dinyatakan dalam firman Allah Swt, QS 76 Surat Al-Insan ayat 3 :

Allah SWT berfirman:

اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَا كِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا

“innaa hadainaahus-sabiila immaa syaakirow wa immaa kafuuroo”

“Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”
(QS. Al-Insan 76: Ayat 3).


Jadi siapakah yang sebenarnya sesat, wahai para pembenci Syiah ?