Sejarah Ditemukannya Makam Imam ‘Ali a.s.

Selayang Pandang Kota Najaf dan Kota Kufah

Najaf adalah sebuah kota di Irak. Kota ini telah ditinggali sejak pra-Islam. Di kota ini terdapat makam Imam ‘Ali bin Abi Thalib a.s.

Sejarah Ditemukannya Makam Imam ‘Ali a.s.

Makam Imam ‘Ali a.s tidak diketahui oleh masyarakat umum selama kurang lebih 150 tahun. Lalu diketahui secara umum pada saat Harun Ar-Rasyid berburu bersama pengawalnya. Diceritakan bahwa mereka mendatangi sebuah kaki bukit yang bertepatan di sana terdapat sebuah kijang. Mereka berburu dengan cara melepaskan burung dan anjing pemangsa ke arah kijang tersebut. Dengan spontan kijang itu berlari ke atas bukit. Burung serta anjing tadi kembali kepada pemliknya. Saat kijang itu turun kembali, mereka pun melepaskan kembali burung dan anjing itu, akan tetapi burung dan anjing pemburu lagi-lagi kembali.

Hal itulah yang membuat Harun Ar-Rasyid heran, mengapa burung dan anjing pemburu itu tak berani mengejar kijang tersebut hingga ke atas bukit. Untuk itu, dia dan pengawalnya tadi pergi menelusuri tempat sekitar untuk mencari seseorang yang berada di sekitar bukit tersebut. Ternyata disekitar bukit tersebut didapati orang tua, lalu Harun Ar-Rasyid bertanya padanya : “Wahai orang tua, bukit apakah ini”? “Jika kau menjamin keselamatanku maka akan aku beritahu”, kata orang tua tadi. “Allah menjamin keselamatanmu wahai orang tua”. Jawab Harun.

Lalu si orang tua tadi bercerita ; “Ayahku dan Imam Ja’far Ash-Shodiq a.s pernah berkunjung ke sini dan melaksanakan shalat dua raka’at, lalu Imam berkata : “Ini adalah makam moyangku, ‘Ali bin Abi Thalib a.s”.

Mendengar pernyataan itu, Harun lalu meminta air untuk berwudhu dan bersegera melakukan shalat dua raka’at. Setelah shalat dia memerintahkan kepada pengawalnya agar membangun makam tersebut.
(Dikutip dari buku Mazhab Syi’ah karya Ayatullah Sayyid Muhammad Al-Musawi Darut-Taqrib/Sajjad/Adrikna)

Kufah adalah sebuah kota di Irak. Kota ini berada di kawasan selatan Irak. Tepatnya di 10 Km sebelah utara Kota Najaf. Kota Kufah dibangun di dekat sungai Eufrat. Air dan udara di Kufah relatif baik. Sejak dulu daerah ini cukup subur dan makmur.

Dulunya Kufah bernama Suristan. Pada tahun 17 H/638, beberapa bulan sebelum dibangunnya Kota Bashrah, atas perintah Khalifah Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash membangun kota ini sebagai pangkalan militer yang ditinggali para tentara bersama keluarganya.

Imam ‘Ali bin Abi Thalib a.s menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahannya sehingga kota ini dikenal dengan Daarul Imarah wal Khilafah. Terdapat beberapa tempat penting di kota Kufah :

I. Masjid Agung Kufah
Masjid Kufah memiliki panjang 110 m dan luas 101 m. Secara keseluruhan, luasnya mencapai 11162 m². Di sekelilingnya berdiri tembok setinggi 10 m. Di sana terdapat ruang terbuka seluas 5662 m². Luas tempat peribadatannya 5520 m². Masjid ini memiliki 187 buah tiang, 4 menara setinggi 30 m, dan 5 gerbang. Nama-nama gerbang tersebut adalah Babu al-Hujjah (gerbang utama), Babu al-Tsu’ban, Babu al-Rahmah, Babu al-Muslim bin Aqil, dan Babu al-Hanni bin Urwah.

Sejarah Masjid Kufah
Menurut sebagian riwayat, pendiri pertama kali Masjid Kufah adalah Nabi Adam a.s. Setelah terjadi banjir bandang, masjid ini direnovasi oleh Nabi Nuh a.s.

Pada tahun 17 H/638 pasukan Islam menduduki Madain. Saat itu kondisi air dan udara di sana sangat buruk hingga membuat tidak nyaman para tentara. Akibatnya sebagian mereka banyak yang menjadi kurus dan lemah. Melihat kondisi demikian, Hudzaifah melaporkannya kepada Khalifah Umar melalui surat yang dia kirim. Setelah menerima surat tersebut Umar memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash supaya mengutus Salman dan Hudzaifah untuk mencari wilayah baru yang lebih layak. Keduanya menyanggupinya. Salman menelusuri daerah sebelah barat Sungai Furat sedangkan Hudzaifah sebelah timurnya. Setelah lama tidak menemukan daerah yang bagus, akhirnya mereka sampai di Kufah. Mereka sepakat bahwa Kufah adalah daerah yang tepat untuk dijadikan pangkalan militer. Mereka lalu shalat dua raka’at dan berdo’a pada Allah Swt supaya menjadikan daerah tersebut sebagai tempat yang tenang dan kokoh. Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash beserta pasukannya sampai di Kufah, dia memerintahkan orang-orangnya supaya lebih dulu membangun masjid baru kemudian bangunan lain. Untuk menentukan batasan masjid yang baru, Abu al-Haija al-Asadi berdiri di suatu tempat lalu membidikan anak panah ke berbagai arah. Berdasarkan itu, ditetapkannya batasan Masjid Kufah yang baru.

Sejak awal berdiri, Masjid Kufah merupakan pusat pendidikan dan kebudayaan kota. Ketika Imam ‘Ali a.s datang ke Kufah pada tahun 36 H/656, pertama kali yang dikunjunginya adalah Masjid Kufah. Di sana beliau menyampaikan ceramah kepada masyarakat. Begitu menetap di Kufah, Imam ‘Ali a.s mengajarkan tafsir Al-Qur`an dan ilmu-ilmu lainnya. Di sana beliau memiliki banyak murid, di antaranya adalah Kumayl bin Ziyad dan Ibnu Abbas.

Keutamaan Masjid Kufah
Ashbagh bin Nubatah berkata, “Amirul Mukminin a.s berkata kepada masyarakat Kufah; “Allah Swt menganugerahi kalian sesuatu yang tidak pernah diberikan kepada orang lain”. Dia menjadikan masjid kalian ini sebagai tempat istimewa. (Masjid Kufah) Ini adalah rumah Nabi Adam a.s, Maqam Nabi Nuh a.s, Maqam Nabi Idris a.s, tempat shalat Khalilullah Ibrahim a.s dan saudaraku Nabi Khidir a.s, juga tempat shalatku. Masjid kalian ini adalah salah satu dari empat masjid pilihan Allah Swt bagi hambanya. Di hari kiamat nanti, masjid ini akan hadir di “Padang Mahsyar” dan menyeru orang-orang yang pernah shalat di dalamnya. Dia akan memberikan syafa’at kepada mereka, dan syafa’at dari Allah Swt tidak akan tertolak. Kelak, Hajar Aswad akan dipasang di dalam masjid ini. Dan suatu hari nanti masjid ini akan menjadi tempat shalat Al-Mahdi Afs, putraku, dan orang-orang yang beriman. Nanti seluruh mukmin di dunia pasti akan masuk ke sini, mereka akan merasa senang di sini.

Jangan sekali-kali meninggalkannya. Shalatlah di dalamnya, dekatkan diri kalian kepada Allah Swt dengan melakukan shalat. Haraplah hajat kalian dari-Nya. Seandainya semua orang mengetahui keutamaan masjid ini, pasti orang-orang dari seluruh penjuru dunia akan segera datang ke sini meskipun jika harus dengan merangkak di atas salju.

Sebagian riwayat menyebut Masjid Kufah sebagai “Istana dari Surga”. Imam ‘Ali a.s berkata : “Di dunia ini ada empat istana surga ; “Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, Masjid Al-Aqsha dan Masjid Kufah”.

Tempat Sujud Para Malaikat
Di sebutkan dalam riwayat, sebelum Nabi Adam a.s, para malaikat telah lebih dulu beribadah di tempat suci ini. Imam ‘Ali a.s berkata : “Tempat pertama kali yang digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt adalah Kufah. Ketika Allah Swt memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s, mereka melakukannya di Kufah.

Tiap malam para malaikat turun ke Masjid Kufah. “Masjid Kufah memiliki nilai istimewa di sisi Allah Swt. Barang siapa yang masuk ke dalamnya maka dosanya akan diampuni. Imam ‘Ali Ar-Ridha a.s pernah bertanya kepada seseorang di mana tempat tinggalnya. Orang tersebut menjawab, dia tinggal di Kufah. Kemudian Imam Ar-Ridha a.s menyampaikan tentang keutamaan Masjid Kufah padanya. “Sesunggunya Masjid Kufah adalah rumah Nabi Nuh a.s”. “Jika seseorang memasukinya sebanyak 100 kali maka Allah Swt akan mengampuninya 100 kali”. Sesungguhnya do’a yang dipanjatkan Nabi Nuh a.s ketika di Masjid Kufah adalah

رَبِّ اغْفِرْ لِی وَ لِوَالِدَی وَ لِمَنْ دَخَلَ بَیتِی مُؤْمِناً

“Ya Tuhanku, ampunilah diriku, kedua orangtuaku, dan orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman”.

Tempat Shalat Para Nabi
Abu Bashir meriwayatkat hadis dari Imam Ja’far Shadiq a.s berkenaan dengan Masjid Kufah, beliau berkata : “Masjid yang paling utama adalah Masjid Kufah, seribu Nabi dan seribu Washi telah shalat di sana”.

Shalat di Masjid Kufah Dilakukan dengan Cara Tamam
Ketika seseorang bepergian ke suatu tempat dengan niat tidak lebih dari 10 hari, maka shalatnya harus dilakukan dengan cara qashar, kecuali pada empat (4) tempat. Imam Shadiq a.s berkata : “Shalat yang dikerjakan di tempat berikut ini (hendaknya) dilakukan dengan cara Tamam (tidak qashar) ; “Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, Masjid Kufah dan Haram Imam Husain a.s”.

Haram Imam ‘Ali a.s
Dalam kitab Bihar Al-Anwar terdapat riwayat dari Imam Ja’far Shadiq a.s yang menyebutkan bahwa, Makkah adalah Haram Allah Swt, Madinah adalah Haram Nabi Muhammad Saww dan Kufah adalah Haram Imam ‘Ali a.s. Kufah sebagai Haram Imam ‘Ali a.s itu sebagaimana Makkah bagi Nabi Ibrahim a.s dan Madinah bagi Nabi Muhammad Saww.

Makam Para Nabi dan Washinya
Para nabi sudah banyak yang pernah shalat di Masjid Kufah. Sebanyak 370 Nabi dan 600 Washi Nabi, juga dikuburkan di sana.

Pusat Pemerintahan Imam Mahdi a.s
Diriwayatkan dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s, beliau berkata : “Ketika nanti Al-Qaim (Imam Mahdi a.s) bangkit berjuang dan menuju Kufah, seluruh mukminin akan menyusulnya dan tinggal di sana”. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib a.s juga berkata : “Suatu saat nanti (Masjid Kufah) ini akan menjadi tempat shalatnya Al-Mahdi Afs”.

Tempat-tempat Bersejarah di Masjid Kufah
Masjid Kufah memiliki banyak Maqam (tempat yang digunakan untuk beribadah) dan tempat penting yang banyak dikenal masyarakat, di antaranya :

1.Rahbah Amirul Mukminin : Tempat yang dulu digunakan Imam ‘Ali a.s untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat tiap sebelum shalat atau pada kesempatan lain. Terletak berada di depan Masjid Kufah. Sebagian riwayat menyebutkan tentang hal ini.

2.Dakkatul Qadza : Tempat yang digunakan Imam ‘Ali a.s untuk menghakimi masalah-masalah umat. Di tempat ini terdapat tiang bertuliskan ayat :
“Sesungguhnya Allah Swt menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (Q.S. Al-Anfal, ayat 90).

3.Bait At-Thasyti : Tempat terjadinya salah satu karomah Imam ‘Ali a.s.

4.Maqam Nabi Adam a.s : Tiang ketujuh Masjid Kufah dikenal dengan Maqam Nabi Adam a.s. Di sana dulu Nabi Adam a.s bertaubat dan Allah Swt menerimanya. Dan juga tempat shalat Imam ‘Ali a.s sehingga juga dikenal dengan Maqam Amirul Mukminin.

5.Maqam Nabi Ibrahim a.s berada pada tiang ke empat Masjid Kufah. Ini adalah tempat yang digunakan Nabi Ibrahim a.s untuk shalat.

6.Maqam Malaikat Jibril a.s : Tiang kelima Masjid Kufah ditetapkan sebagai Maqam Jibril a.s. Pada Malam Mi’raj di saat Nabi Muhammad Saww diangkat Allah Swt dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsha, ketika melewati masjid Kufah, Malaikat Jibril a.s berkata kepada Nabi Saww : “Yaa Rasulullah, saat ini engkau ada di depan Masjid Kufah”. Atas izin Allah Swt di sana Nabi Saww melakukan dua raka’at shalat. Imam Hasan a.s juga melakukan shalat di dekat tiang tersebut, sehingga tempat itu juga dikenal dengan Maqam Imam Hasan a.s.

7.Maqam Imam ‘Ali Zainal Abidin a.s : Tiang ketiga Masjid Kufah adalah tempat shalat Imam ‘Ali Zainal Abidin a.s. Abu Hamzah Al-Tsumali berkata : “Aku melihat ‘Ali bin Al-Husain a.s memasuki Masjid Kufah dan melakukan shalat dua raka’at lalu berdo’a. Saat akan kembali ke Madinah beliau ditanya seseorang. “Untuk apa engkau kemari “? “Ini adalah tempat dibunuhnya ayah dan kakekmu”. Imam Zainal Abidin a.s menjawab : “Aku menziarahi ayahku dan shalat di masjid ini”.

8.Mihrab Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib a.s : Di sini Abdurrahman bin Muljam Al-Murodi menghujam kepala Imam ‘Ali a.s. dengan pedang beracun sehingga beliau syahid beberapa hari kemudian.

9.Maqam Imam Ja’far Shadiq a.s. Diriwayatkan bahwa suatu hari di masa Bani Abbasiah Imam Shadiq a.s masuk masjid dari Babu al-Fil, lalu melakukan shalat di dekat tiang ke empat. “Maqam Nabi Khidir a.s”.

10.Tempat terdamparnya kapal Nabi Nuh a.s.

11.Kuburan Muslim bin Aqil dan Hanni bin Urwah

12.Kuburan Mukhtar Ats-Tsaqafi

II. Rumah Imam ‘Ali bin Abi Thalib a.s.
Tidak jauh dari Masjid Kufah terdapat rumah dan kediaman Imam ‘Ali bin Abi Thalib a.s. beserta putra dan puterinya sejak beliau menetap dan memimpin di kota Kufah.

III. Masjid Sahlah
Masjid Sahlah adalah salah satu masjid termasyhur di kota Kufah yang telah dibangun pada abad pertama Hijriah. Sekalipun telah bertahun-tahun berlalu, masjid ini masih tetap berdiri tegak. Banyak para pengikut Syi’ah berdatangan ke masjid ini untuk mengerjakan shalat.

Masjid Sahlah terletak di arah barat daya Masjid Jami Kufah dan hanya berjarak sekitar 2 kilometer. Pertama kali, masjid ini bernama Masjid Bani Zhafar, karena dialah yang telah membangunnya.

Masjid Sahlah dibangun di atas lahan tanah yang dikelilingi pasir berwarna merah dan hanya berukuran panjang 140 m² dan lebar 125 m². Tinggi tembok masjid sekitar 22 meter dan menara setinggi 30 meter. Pintu utama masjid terletak di daerah timur masjid.
Masjid Sahlah memiliki banyak maqam (tempat ibadah) : Maqam Imam Ash-Shadiq a.s, maqam Nabi Ibrahim a.s, maqam Nabi Idris a.s, maqam Nabi Khidhir a.s, dan maqam Imam Mahdi a.s.

IV. Masjid Kumayl

V. Masjid Hannanah (Merintih dan Membungkuk)
Masjid ini terletak di pinggiran kota Najaf. Berdasarkan nukilan-nukilan sejarah, terdapat dua peristiwa penting terjadi di masjid ini ;

Pertama, di tempat ini di tiang-tiang atau temboknya ketika diadakan prosesi penghormatan kepada jenazah Imam ‘Ali pada malam hari dari Kufah menuju Najaf, ketika jasad suci Imam ‘Ali a.s melewati tempat ini, tiang-tiang ini membungkuk karena sedih. Dalam riwayat yang berasal dari Imam Shadiq a.s ditanyakan bahwa mengapa tiang-tiang yang berada di jalan Najaf membungkuk ? Imam menjawab : “Ketika jenazah Amirul Mukminin melewati tempat ini, tiang-tiang ini sangat sedih sehingga membungkuk sebagaimana membungkuknya singgasana Abrahah ketika Sayyid Abdul Muththalib masuk.

Kedua, ketika kepala suci syuhada Karbala dibawa ke Kufah, kepala suci Aba Abdillah diletakkan di tanah masjid ini terdengar suara yang mirip suara anak unta (hannanah) yang kehilangan induknya. Dinukilkan bahwa Imam Shadiq a.s ketika mengadakan safar ke Najaf dan Kufah berhenti di tiga tempat dan melakukan shalat, salah satunya shalat di tempat ini. Ketika ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab : “Kepala kakekku, Husain a.s diletakkan di sini.

Sebab penamaan Hannanah bagi masjid ini dikatakan bahwa Hannanah (orang yang menangis) karena jeritan tiang-tiang pada saat jenazah Imam ‘Ali a.s melewati tempat ini. Sebab penamaan lainnya adalah jeritan bumi tempat ini ketika kepala suci para syahid Karbala hadir di tempat ini. Sebagian orang juga mengatakan bahwa nama Hannanah adalah nama seorang biarawati Kristen yang tinggal di daerah ini.

💥 “Bumi Pertiwi” dalam Perspektif Ahlulbait 💥

Tidak banyak diketahui orang bahwa istilah “Bumi Pertiwi” memiliki keterkaitan makna yang sangat dalam dengan Ahlulbait as, terutama Sayyidah Fatimah az Zahra sa.

Dimana selain melekat dalam kebudayaan dan tradisi Nusantara, pribadi-pribadi suci Ahlulbait as ternyata memiliki berbagai sebutan atau pribumisasi nama, antara lain yang telah diputuskan melalui musyawarah bersama antara Sultan Demak dan Dewan Wali Songo.

Sebagaimana tercatat dalam “Serat Rerepen Sunan Prawoto”, yaitu semacam bahan presentasi yang disusun oleh Sunan Prawoto selaku Sultan Demak, untuk disampaikan di hadapan Dewan Wali Songo, Rasulullah Muhammad saaw dalam tradisi dan kebudayaan Jawa diberi nama “Sang Hyang Wisnu Kresno”.

Dikutip dari Serat Rerepen Sunan Prawoto, Pocung, Pupuh ke 38 yang mengatakan bahwa “Sang Hyang Wisnu: Arab tegesipun Rasul, yen Kresna Muhammad, Allah Sang Hyang Sidajati, mung bedane tembung Arab lawan Jawa.”

Terjemahannya : “Sang Hyang Wisnu dalam bahasa jawa, sedang dalam bahasa Arab artinya Rasul, sedangkan Kresna adalah nama Rasulullah Muhammad, Allah adalah Sang Hyang Sidajati. Istilah-istilah tersebut hanya berbeda penggunaan, yang satu dalam istilah Arab dan yang satu lagi dalam istilah Jawa (pribumi).”

Sedangkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib as, dalam tradisi kebudayaan Jawa, memiliki beberapa nama di antaranya :

  1. Syeh Bagindo Ngali
  2. Syeh Ngali
  3. Sri Sadono Ngali (sadono adalah serapan dari kata Sayyidina)
  4. Sri Sadono
  5. Kyai Turonggo Seto

Dan untuk Sayyidah Fatimah az Zahra sa, beliau dalam tradisi kebudayaan Jawa memiliki beberapa nama di antaranya :

  1. Gusti Ayu Sri Pertimah
  2. Gusti Ayu Pertimah
  3. Dewi Sri Pertimah
  4. Dewi Sri
  5. Dewi Sri Pertiwi
  6. Dewi Pertiwi
  7. Ibu Pertiwi

Maka dari penjelasan di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa istilah “Bumi Pertiwi” yang banyak digunakan masyarakat, sebenarnya mengacu pada bumi (atau tanah) milik Ibu Pertiwi (alias Sayyidah Fatimah Zahra sa).

Lalu bagaimana kisah di balik tanah milik putri Nabi, Sayyidah Fatimah itu?

Jalaluddin al-Suyuti dalam buku tafsirnya al-Dur al-Mantsur, Muttaqi al-Hindi dalam buku Kanzul Ummal, Tsa’labi dalam Tafsir al-Kasf wa al-Bayān, Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah, Hakim al-Haskani dalam Syawāhid al-Tanzil, dan al-Qunduzi, serta mayoritas ulama Sunnah lainnya mengutip, ketika ayat ini turun (Q.S 17:26) :

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat,”

maka Nabi Muhammad saw memberikan Fadak kepada putrinya Fatimah sa.

Fadak adalah sebuah perkampungan yang subur di dekat Khaibar, berada di wilayah Hijaz sekitar 160 km dari Madinah, dimana kaum Yahudi tinggal dan hidup di wilayah itu dan karena posisi wilayahnya yang strategis, mereka membangun benteng-benteng militer di sekitarnya.

Setelah Nabi berhasil menaklukkan kawasan Khaibar dan benteng-bentengnya dalam perang Khaibar, orang-orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng dan ladang perkebunan Fadak, mengirim perwakilan ke hadapan Nabi saw dan mereka merasa puas dengan berserah diri dan berkompromi dengan Nabi, dimana mereka berjanji bahwa setengah tanah itu untuk mereka dan setengah tanah lainnya akan diberikan kepada Nabi.

Dan kapan saja Nabi saw berkehendak, mereka akan meninggalkan Fadak; oleh karena itu, Fadak jatuh ke tangan umat Islam tanpa melakukan perang.

Fadak memiliki ladang dan perkebunan kurma yang sangat banyak. Ibnu Abi al-Hadid (seorang ulama Sunni) mengenai nilai pohon-pohon kurma Fadak, menulis: “Pohon-pohon kurma Fadak seukuran pohon-pohon kurma kota Kufah yang ada saat ini (sebuah perkebunan kurma yang luas).”

Para ahli hadis dan sejarawan bersepakat bahwa Fadak termasuk harta kepemilikan Nabi yang murni, karena diraih bukan melalui jalan perang dan atau penaklukkan. Sesuai ayat ke-6 dan 7 surah al-Hasyr, harta-harta yang diperoleh tanpa perang dinamakan Fay’ dan Nabi Muhammad saw sepenuhnya memiliki hak atas barang tersebut untuk menyerahkan kepada siapa saja yang menurutnya baik.

Oleh karena itu, tanah Fadak sampai pada saat Nabi Muhammad saw wafat, berada di tangan Sayidah Fatimah sa tanpa ada seorangpun berani mengusiknya. Namun setelah peristiwa Saqifah dan kekhalifahan berada di tangan Abu Bakar, ia mengumumkan bahwa Fadak bukan milik siapa-siapa; karena itulah Fadak disita untuk kepentingan kekhalifahannya.

Diriwayatkan bahwa khalifah pertama selain menguasai Fadak, ia juga menyita aset lain berupa tujuh kebun (al-hawa’ith al-Sab’ah) dari tangan Fatimah. Kebun-kebun tersebut awalnya milik seorang Yahudi bernama Mukhairaq yang akan memeluk Islam dan berwasiat jika ia terbunuh dalam pertempuran, kebun-kebunnya menjadi milik Nabi saw. Lalu ia pun syahid dalam Perang Uhud. Nabi juga memberikan tujuh kebun ini kepada Zahra sa putrinya, bersamaan dengan Fadak.

Setelah terjadi kasus penyitaan Fadak, Sayyidah Fatimah sa pergi ke hadapan Abu Bakar dan untuk mengembalikan kepemilikan Fadak, beliau berdialog dengannya. Dalam dialog itu disebutkan ketika Fatimah sa menggugat pengembalian Fadak, Abu Bakar berkata: “Dari Nabi (aku) mendengar bahwa harta benda yang ada di tangannya sepeninggalnya, jatuh ke tangan kaum muslimin, dan beliau sama sekali tidak meninggalkan warisan apa pun!”

Fatimah sa menjawab: “Ayahku (semasa hidup) telah memberikannya kepadaku.” Abu Bakar lalu meminta kepada Sayidah Fatimah sa untuk membawakan bukti bahwa Nabi memang telah memberikan Fadak kepadanya.

Menurut beberapa riwayat, Fatimah Sa membawa suaminya Ali as dan Ummu Aiman sebagai saksi (menurut sebagian riwayat lainnya : Imam Hasan as, Imam Husain as dan Ummu Kultsum beserta salah satu dari budak Nabi saw menjadi para saksi).

Abu Bakar kemudian menerima kesaksian mereka dan menulis di atas sebuah kertas, supaya tidak ada seorang pun yang mempermasalahkannya lagi. Namun ketika Fatimah sa keluar dari tempat dialog tersebut, Umar bin Khattab melihatnya, lalu mengambil tulisan tersebut dan merobeknya!

Setelah gagalnya upaya mediasi Fatimah sa di hadapan Abu Bakar, putri Nabi ini lalu pergi ke Masjid Nabi dan menyampaikan sebuah khotbah di depan kalangan sahabat demi mengklarifikasi permasalahan dan mengembalikan Fadak.

Sayyidah Fatimah sa dalam ceramahnya itu yang dikenal dengan khotbah Fadakiyah, berbicara tentang perebutan kekhalifahan dan menganggap ucapan Abu Bakar yang mengatakan “Dari Nabi aku mendengar: Kami para nabi tidak mewarisi apapun dan apa yang tersisa dari kami, adalah amal sedekah” sebagai kedustaan belaka.

Sesuai dengan aturan apa dia merampas warisan ayahnya? Apakah ada ayat Alquran yang mengatakan demikan?! Dan kemudian beliau, Sayyidah Fatimah sa, menyerahkannya kepada pengadilan Allah pada hari kebangkitan dan mempertanyakan para sahabat Nabi, mengapa mereka duduk diam dalam menghadapi penindasan ini?

Fatimah sa mengatakan secara terbuka bahwa apa yang mereka (Abu Bakar dan rekan-rekannya) lakukan, adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah (نکثوا ایمانهم) dan di akhir khotbah, beliau mengingatkan bahwa “tindakan tercela mereka akan kekal” dan beliau menyebut “akhir dari tindakan tersebut adalah neraka”.

Diriwayatkan bahwa Sayidah Zahra sa setelah peristiwa perampasan Fadak, beliau benar-benar marah atas Abu Bakar dan Umar sampai beliau menemukan kesyahidannya: “Fatimah, putri Rasulullah marah dan dia enggan bertemu dengan Abu Bakar dan hal ini tetap berlanjut hingga akhir umurnya.”

Maka Abu Bakar dan Umar untuk menarik kerelaan hati Fatimah sa, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengannya; namun Fatimah sa tidak mau menerima mereka.

Mereka kemudian melalui perantara Imam Ali as, dapat bertemu dengan Fatimah sa. Dalam pertemuan itu Sayidah Zahra sa mengisyaratkan sebuah hadis dari Nabi saw yang mengatakan: “Kerelaan Fatimah adalah kerelaanku, dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku, oleh karena itu, siapa saja yang mencintai Fatimah, putriku maka dia mencintaiku, dan siapa saja yang menjadikan Fatimah marah maka dia telah menjadikanku marah.”

Sampai pada akhir hayatnya pun, Fatimah sa tidak rela dengan mereka berdua.

Tanah Fadak, selama kekhalifahan Imam Ali as pun masih berada di tangan oposisi. Meskipun Imam Ali as tahu bahwa tindakan para khalifah sebelumnya adalah sebuah perebutan, namun pengadilan mengenai hal itu telah beliau serahkan kepada Allah untuk menghakiminya.

Tentunya kita bertanya, mengapa Imam Ali as tidak berupaya mencabut Fadak dari tangan para penguasa sebelumnya?! Ada sebuah riwayat yang dimuat dalam referensi-referensi hadis; termasuk salah satunya dikatakan bahwa Imam Ali as sendiri dalam sebuah pidatonya berkata:

“Jika aku perintahkan Fadak dikembalikan kepada ahli waris Zahra sa, demi Allah aku bersumpah bahwa orang-orang yang berada di sekitarku akan berpencaran. “

Begitu pula ada dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as yang menjelaskan bahwa Imam Ali as dalam permasalahan Fadak ini mengikuti teladan Nabi saw. Dimana Rasulullah saw di hari penaklukkan kota Mekah, ada sebuah rumah yang sebelumnya diambil dari Rasul saw dengan cara zalim, namun beliau mengabaikannya dan tidak lagi berusaha mengambil haknya.

Tanah Fadak dalam periode Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, juga berada di tangan para khalifah, dan baru di beberapa periode ini kembali ke tangan anak-anak keturunan Fatimah:

  1. Periode kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz,
  2. Periode Abul Abbas Saffah,
  3. Periode Mahdi putra Mansur Abbasi
  4. Periode kekhalifahan al-Makmun.

Setelah Makmun, al-Mutawakkil al-Abbasi memerintahkan untuk mengembalikan Fadak pada situasi sebelum Makmun mengeluarkan perintah (yakni kembali dikuasai Khalifah).

Sejatinya tuntutan Fadak dari pihak Fatimah Zahra Sa, bukan sekedar tuntutan sebidang tanah atau sepetak bumi, sebagaimana sebuah riwayat dari Imam Kazhim As yang dinukil dari kitab Akhbâr al-Khulafa berikut.

Ketika Harun Ar-Rasyid –seorang khalifah dari Bani Abbas – menghendaki Imam Musa Al Kazhim As untuk menentukan batas tanah Fadak agar ia mampu mengembalikannya kepada Ahlulbait, Imam Kazhim As menolak memulai urusan tersebut dan bersabda: “Kamu tidak akan dapat mengembalikannya.”

Dan ketika Harun mendesak, Imam As menjelaskan batas tanah Fadak seperti ini: “Batasnya yang pertama adalah wilayah Aden (Yaman), dan batasnya yang kedua Samarkand (Uzbekistan), kemudian batasnya yang ketiga Afrika dan selanjutnya batasnya yang keempat Laut Kaspia dan Armenia (dimana semua batasan yang disebutkan ini terkait dengan wilayah kekhalifahan pada masa itu).”

Pemaparan Imam Musa As ini menyingkap rahasia tuntutan tanah Fadak, yang menyangkut dua hal:

Pertama, deklarasi hak Ilahiah terkait dengan wilayah Imam Ali As dalam keimamahan dan kekhalifahan pasca wafatnya Nabi Saw.

Kedua, tidak adanya kelayakan Abu Bakar dalam hal kekhalifahan dan tindak penyerobotan posisi keimamahan yang dilakukannya. Salah satu bukti lain adalah setelah menduduki kekhalifahan, Imam Ali As menahan diri dari mengambil alih apa yang menjadi haknya (yakni tanah Fadak), dan menganggap dirinya tidak memerlukan perkara tersebut. 🌟